Langsung ke konten utama

KEARIFAN LOKAL DI RIMBANG BALING





Gajah Bertalut CJ -- Sebanyak 10 orang Tim field trip  yang terdiri dari jurnalis warga, Aliansi Jurnalis Independen Pekanbaru dan Wordl Resources Institute berangkat menuju Desa Gajah Bertalut.
Pukul 11rombongan tim AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Pekanbaru Sebanyak 2 mobil pun datang, namun kami harus menunggu lagi Tim WRI (Wordl Resources Institute)  sebagai navigatornya yang berangkat dari Kebun Durian, obrolan untuk mengakrabkan diri jadi kegiatan seru sambil menunggu rombongan tersebut.
Dan…..selama lebih kurang setengah jam,  akhirnya tim WRI pun datang, lengkap sudah anggota tim kami yangTerdiri dari 3 Orang dari Jurnalisme Warga, 4 orang dari AJI dan 2 orang dari WRI dan 1 orang traveller berangkatlah kami menuju Desa Gema yang merupakan kampung terakhir yang bisa dilewati mobil dan perjalanan darat kamipun berakhir sampai disini.
 
Menuju Desa Gajah Bertalut





Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menggunakan piyau (sampan bermesin robin) menjajal jalur Sungai Subayang yang deras waktu tempuhnya sekitar 2 jam, di sepanjang sungai banyak kami jumpai hal-hal menarik, tebing tebing Sungai yang  terjal  merupakan pemandangan alam yang menakjubkan tak luput dari kamera peserta tim
Sebelum sampai di pemukiman Desa Gajah Bertalut kami diajak singgah terlebih dahulu di Camp WRI yang berada di Koto Tangah yang merupakan kampung tinggal masyarakat Gajah Bertalut kami disuguhi buah-buahan hutan yang banyak tumbuh disini oleh Bang Lawa selaku koordinator WRI di Gajah Bertalut, konon menurut cerita dari masyarakat kampung ini tinggal diakibatkan adanya serangan ikan terhadap masyakat, sehingga banyak menimbulkan korban, akhirnya masyarakat meninggalkan kampung tersebut
Tidak berapa lama beramah-tamah dengan WRI, sore sekitar jam 5 sore, kami pun beranjak menuju Desa Gajah Bertalut sebelum magrib kami sempatkan dulu mandi-mandi di Sungai Subayang, dan disinilah ada keindahan lain saat mandi sore di Gajah Bertalut yang tak boleh dituliskan dengan kata-kata.  
Tidak ada listrik, jalanan beraspal sampai sinyal internet, itulah gambaran dari Desa Gajah Bertalut, penerangan disana hanya 3 jam yang di mulai jam 7 malam hingga jam 9 malam karena sumber energinya terbatas (tenaga surya), pada waktu itulah masyarakat Gajah Bertalut berkumpul setiap malam di Kantor Kepala Desa untuk mendapatkan signal wifi gratis untuk berkomunikasi dengan dunia luar bahkan tak jarang masyarakat Desa tetangga ikut ngumpul di sana, ada yang bermain gitar, main koa sambil ngopi disinilah kami rasa eksotiknya, karena mungkin bisa juga wifi gratis ini dijadikan sarana mencari jodoh anak-anak muda disini
‘’Ya, beginilah Desa kami ini. Kalau dikatakan tidak ada pembangunan, berbohong kami. Ada memang pembangunan, tapi bisa dilihat sendirilah,’’ ujar badul Azis salah satu tokoh masyarakat
Setelah lampu mati, semua pulang begitu juga kami pun menuju rumah warga yang telah disiapkan oleh WRI, badan yang terasa letih sewaktu perjalanan tadi ditambah suasana hujan yang begitu lebatnya menjadikan kami tidur begitu pulas.
Jam 6 pagi kami bangun rencana mandi di sungai namun karena arus  terlalu deras akibat hujan tadi malam terpaksa kami mandi dirumah, kebuetulan rumah warga disini juga memiliki jaringan air bersih yang dihubungkan dengan sumur induk diatas bukit untuk mck dan air minum warga
tak beberapa lama masing masing peserta menyiapkan alat yang butuhkan untuk meliput seperti kamera dan ada juga yang menyiapkan drone kebetulan penulis juga membawa GPS dan Kompas, karena agenda kami selanjutnya yaitu meninjau air terjun batang sighai yang berada ditengah hutan
sambil menunggu dua orang tim WRI yang belum datang kami sarapan dulu. Sebagian kawan kawan jalan jalan keliling Desa meliput dan tanya-tanya ke masayarakat karena sebagian besar tim adalah AJI yang notabene adalah seorang jurnalis,
oh ya disini juga kuburan keramat, namun banyak warga tidak mengetahui siapa yang dimakamkan disana, panjangnya sekitaran tiga meter yang berada di ujung Desa tersebut
berdasarkan cerita masyarakat, dinamakan Desa Gajah Bertalut (Gajah Bergelut) dikarenakan adanya pertempuran antara Gajah dengan ular yang sangat besar disana, konon menurut cerita ular tersebut bergantung diatas pohon beringin, yang pada akhirnya kedua binatang tersebut mati bahkan pohon beringinnya pun turut mati, itulah sepenggal kisah Desa Gajah Bertalut ini
Selain itu, tradisi yang masih terjaga disini adalah Lubuk Larangan. Lubuk Larangan berupa bentangan Sungai yang memiliki lubuk atau cukup dalam dengan panjang sekitar 500 meter di tengah kampung dimana masyarakat dilarang untuk mengambil ikannya dalam kurun waktu tertentu.
Panen ikan lubuk larangan ini dilaksanakan pada musim kamarau atau arus Sungai sudah mulai kecil, melalui kesepakatan kades, ninik mamak dan tokoh masyarakat. Untuk memeriahkan panen ikan ini di adakan pula musik tradisional yaitu Gondang Oguang.menurut bang Lawa  ‘’Lubuk larangan itu sudah ada sejak kampung ini ada yang merupakan kearifan lokal disini,yang perlu di jaga dan dilestarikan” lanjutnya

Menuju Desa Tarusan


Setelah menunggu beberapa saat akhirnya lengkap sudah anggota tim kami, berangkatlah kami menuju Kampung Tarusan, untuk menuju desa tersebut kita harus menaiki piyau lagi melalui Sungai Subayang kemaren
Untuk menuju kesana menempuh waktu selama lebih kurang 20 menit," kata Herman juru kemudi piyau dari Desa Gajah Bertalut.
Sekitar pukul 9.30 WIB kami tiba di Desa Tarusan, atau pemukiman yang juga terkenal dengan desa pembuatan piyau, usah pembuatan piyau untuk kebutuhan transportasi masyarakat sepanjang Sungai Subayang ini telah ada puluhan tahun, dengan menggunakan jenis kayu medang dan kayu keras lainnya, “usaha Pembuatan piyau menghabiskan rata rata waktu15 hari untuk menghasilkan satu piyau dengan panjang 8 meter,’’ ujar Sumi salah satu pengrajin piyau di Desa Tarusan

Menuju Air Terjun Batang Sighai


Perjalanan menuju Air Terjun Batang Sighai ini dipandu oleh Junaeda salah satu warga Desa Tarusan, Start dari Desa tarusan melakukan perjalanan darat (tracking) selama kurang lebih tiga puluh menit menempuh hutan lebat mengikuti alur sungai yang berbatu besar-besar dengan medan lumayan sulit,
Dengan keringat yang mebasahi tubuh akhirnya sampai lah kami di air terjun, tanpa menunggu aba-aba, kami langsung mandi basah basahan sambil menikmati indahnya air terjun tersebut, bahkan hilang rasa lelah sewaktu diperjalanan setelah mandi-mandi disini menurut Firly salah satu traveller yang ikut dalam rombongan tersebut “ air terjun ini memang indah, airnya bening suasana hutannya masih alami hmm... Riau memamang luar biasa punya destinasi menakjubkan,” katanya sementara itu menurut Zacky salah satu peserta jurnalisme warga, “kalau bukan karena perut yang sudah mulai lapar malas rasanya pulang ke rumah” katanya.
Setelah selesai mandi-mandi, kamipun pulang menuju Desa Gajah Bertalut, menaiki sampan kembali
Sampai di Desa Gajah Bertalut sekita jam 4 sore, kami menjumpai pasar terapung, dimana banyak sekali masyarakat berbelanja untuk keperluan sehari hari di pasar terapung tersebut, sementara ibu-ibu belanja anak-anak mereka menunggu sambil mandi mandi di sungai,  menurut Tuti, salah satu warga yang berbelanja di pasar terapung tersebut  “kami merasa senang sekali ada pasar terapung tersebut karena kami tak perlu jauh-jauh belanja keperluan sehari-hari lagi” ujarnya. Selain sayuran di pasar tersebut juga menjual ikan, daging ayam,rokok dan berbagai merek mie instan






Keasrian alam nan masih alami dan terjaganya adat istiadat benar-benar bisa dirasakan di Desa Gajah Bertalut Dengan kondisi hutan yang masih asri, namun tidak pernah kami dengar konflik manusia dengan satwa liar yang masih banyak di sekitaran mereka, bahkani berdasarkan situs yang ada berupa tangga rumah masyarakat yang terbuat dari beton, mereka sudah ada disini sebelum tahun 1842, konon menurut cerita, dahulu ada bencana air bah yang sangat besar menghanyutkan pemukiman tersebut.

Menuju Desa Aur Kuning






Sebelum mengakhiri tour singkat kami ini, kami mengunjungi Desa Aur Kuning, yang merupakan Desa dengan penduduknya cukup ramai dibandingkan desa lainnya, untuk mencapai desa ini selain jalur sungai juga terdapat jalur darat berupa jalan semenisasi, namun jarang sekali digunakan jalan ini, mereka cenderung lebih suka menaiki sampan ke Desa tersebut
Di desa tersebut juga terdapat jembatan gantung untuk menghubungkan dusun di Desa Aur Kuning yang berada di seberang Sungai tersebut
Sebetulnya banyak sekali destinasi wisata yang ada di sepanjang Sungai Subayang ini, bahkan berdasarkan keterangan warga dihulu Sungai ini, sangat indah bahkan cocok untuk arena arung jerang, namun penulis belum sempat berkunjung kesana
Jam 10 pagi kamipun mohon pamit ke masyarakat disini, karena penulis sudah ngantuk juga petualangan cuma sampai disini
(sune)

Komentar